LAYANAN KONSELING KRISIS: MENGATASI MASALAH TRAUMATIK SISWA YANG MENJADI KORBAN BULLYING
Cicilia Any Tyastuti
SMP Santo Bernardus Madiun, Indonesia
Email:
Abstrak
Kasus
bullying tidak dapat dianggap sebagai permasalahan yang sepele. Masih banyak
kasus bullying yang terjadi pada
siswa di Indonesia. Kejadian-kejadian bullying tersebut dapat menimbulkan
kondisi krisis pada siswa. Adanya
layanan bimbingan dan konseling di sekolah dapat memudahkan siswa
untuk mengatasi
atau melewati kondisi krisis
tersebut. Oleh karena itu penulis
tertarik untuk mengkaji
layanan konseling krisis
untuk membantu siswa yang menjadi korban bullying. Metode yang digunakan yaitu berupa kajian literatur. Dimana penulis
mengkaji data-data yang ditemukan dari karya penulis lain. Konseling krisis merupakan sebuah
pendekatan dalam memberikan bantuan oleh seorang profesional terhadap individu yang mengalami kondisi
krisis dalam dirinya. Terdapat berbagai variasi pendekatan dapat digunakan dalam pelaksanaan
konseling krisis dapat misalnya pendekatan
realita, pendekatan perilaku (behavioral), pendekatan SFBC, pendekatan Person Centered, pendekatan Kognitif, dan sebagainya. Konseling krisis juga memiliki
beberapa tahapan yaitu tahap awal, tahap transisi, tahap kerja, dan tahap terminasi. Penerapan konseling krisis tersebut sangat
bermanfaat bagi siswa, dimana siswa berhasil
melewati kondisi krisisnya sehingga
tidak menimbulkan trauma
yang mendalam.
Kata Kunci: Konseling Krisis, Siswa, Bullying, Traumatik
CRISIS COUNSELING SERVICES: OVERCOMING TRAUMATIC PROBLEMS OF STUDENTS WHO ARE VICTIMS OF BULLYING
Abstract
Cases of bullying cannot
be considered as a trivial
problem. There are still many cases of bullying that occur
to students in Indonesia. These bullying incidents can lead to crisis
conditions in students. The existence
of guidance and counseling services in schools can make it easier for students
to overcome or get through this
crisis. Therefore the authors are interested in studying crisis counseling
services to help students who are
victims of bullying. The method used is a literature review. Where the author examines
the data found from the work of other authors.
Crisis counseling is an approach
in providing professional assistance to individuals
who are experiencing a crisis within themselves. There are various
approaches that can be used in the implementation of crisis counseling, for example the reality approach, behavioral approach, SFBC
approach, person centered approach, cognitive approach, and so on. Crisis counseling also has several
stages, namely the initial stage, the transition stage, the working stage, and the termination stage.
The application of crisis counseling is very beneficial for students,
where students succeed
in going through
their crisis conditions so that they do not cause deep
trauma.
Keyword: Crisis
Counseling, Student, Bulllying, Traumatic
PENDAHULUAN
Kasus bullying
tidak dapat dianggap
sebagai permasalahan yang sepele. Di Indonesia,
masih banyak terjadi kasus bullying yang tidak disadari keberadaannya. Bahkan kasus bullying
ini banyak terjadi di lembaga pendidikan seperti
sekolah, mulai dari SD hingga SMA. Artinya kasus bullying ini
tidak hanya terjadi pada siswa remaja saja, tetapi juga pada anak-anak yang masih berada di
sekolah dasar. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi siswa untuk belajar dapat menjadi tempat yang tidak menyenangkan. Karena pada dasarnya
di sekolah siswa tidak hanya belajar materi
maupun teori, tetapi juga siswa belajar bagaimana menjalin interaksi dan
komunikasi yang baik dengan orang
lain. Dimana, karakter siswa
dibentuk menjadi lebih baik agar tercipta siswa yang memiliki moral, toleransi, dan sopan santun yang baik.
Faktanya, masih terdapat
sejumlah siswa yang melakukan pembullyan. Bahkan KPAI (Komisi
Perlindungan Anak Indonesia) mencatat
bahwa kasus bullying di Indonesia semakin
meningkat kira-kira 30-60 kasus per tahun.
Dari banyaknya kasus bullying tersebut, Indonesia menempati
posisi kelima (chatnews.id, 22 November 2022).
Tentu hal ini berarti bahwa kejadian ini sangat memprihatinkan. Tidak hanya itu, PISA (Programee for International Students
Assessment) mencatat data bahwa anak dan remaja di Indonesia
mendapat perlakuan intimidasi (15%), pengucilan (19%),
penghinaan (22%), pengancaman (14%), perlakuan mendorong
hingga pemukulan (18%), dan penggibahan berita buruk (20%). Perlakuan-perlakuan tersebut sangat tidak pantas dilakukan
oleh anak-anak maupun remaja. Banyak dampak negatif yang terjadi apabila
perlakuan tersebut dilakukan
secara terus-menerus.
Pada tahun
2022 kasus pembullyan terjadi pada siswa SD di Malang sampai tak sadarkan
diri hingga koma (chatnews.id, 24 November 2022). Tidak hanya di SD, terdapat juga siswa SMP di Bandung
yang mengalami pembulyan sampai pingsan (detik.com, 19 November 2022).
Kejadian-kejadian bullying tersebut
tentunya tidak hanya berdampak pada fisik korban
saja, tetapi juga pada psikis korban.
Korban cenderung akan mengalami stress,
depresi, traumatik, bahkan bunuh diri.
Sebagaimana kasus bullying yang menimpa siswi SMA di Riau yang berujung bunuh diri karena sering diejek dengan sebutan
“anak orang gila” oleh teman-temannya (news.detik.com, 1 Agustus
2017). Masih banyak
dampak-dampak yang begitu mengkhawatirkan
dari kasus bullying ini bagi anak maupun remaja.
Kejadian-kejadian bullying tersebut
dapat menimbulkan kondisi krisis pada siswa. Dalam tahap perkembangannya, kondisi krisis ini dapat menganggu
ataupun menghambat aktivitas
yang ingin dilakukan
oleh siswa apabila tidak ditangani dengan baik.
Kondisi krisis ini dapat menghasilkan
dampak negatif maupun positif,
tergantung dari cara menghadapinya.
Menurut Fauziah et al. (2017) kondisi krisis ini dapat diibaratkan sebagai
bumerang, dimana jika kondisi krisis dialami oleh siswa yang memiliki sikap tangguh dan berani menghadapi tantangan
maka kondisi krisis nya dapat menjadikan siswa tersebut lebih tangguh lagi. Namun, hal itu dapat berlaku
sebaliknya jika kondisi krisis dialami oleh siswa yang belum siap menerima
tantangan dan tidak mampu melewati
masa krisisnya dengan baik maka kondisi krisis tersebut
dapat memperburuk keadaannya. Oleh karena itu, peran orang yang lebih dewasa diperlukan untuk membantu siswa melewati masa krisisnya.
Adanya
layanan bimbingan dan konseling di sekolah
dapat memudahkan siswa untuk mengatasi dan melewati kondisi krisis
tersebut. Intervensi yang tepat
untuk mengatasi kondisi krisis yaitu dengan menerapkan konseling krisis. Layanan
konseling krisis ini dapat bermanfaat dalam proses penyembuhan
seperti pada masalah bullying. Oleh sebab itu Guru BK memiliki peran penting dalam pelaksanaan layanan
konseling krisis ini. Sejalan dengan
hal tersebut Rahayu (2017) dalam kajiannya menyebutkan bahwa masalah traumatik
seperti bullying, kekerasan
seksual, dan perceraian orang tua yang terjadi pada anak dan remaja dapat ditangani melalui pendekatan
konseling krisis. Zuleyka
et al. (2021) juga mengkaji
tahapan penanganan masalah traumatik yang terjadi akibat bullying melalui konseling krisis dengan menggunakan konseling
realitas. Dengan demikian,
kajian mengenai konseling krisis
untuk korban bullying ini menarik untuk dibahas.
METODOLOGI
Metode yang digunakan yaitu berupa kajian
literatur. Dimana dalam proses pengumpulan data dilakukan dengan
mencari literatur dari jurnal-jurnal yang sudah diterbitkan oleh penulis lain. Sumber data didapat dengan memanfaatkan e-book, buku,
artikel online, maupun jurnal online.
Penulis menggunakan metode
pendekatan kualitatif, dimana
data-data yang sudah
diperoleh akan dikumpulkan dan dikaji. Setelah
itu, data-data akan disusun secara
sistematis serta memberikan kesimpulan dari hasil analisis
yang sudah dilakukan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Hasil
Permasalahan bullying memang tidak boleh dibiarkan
begitu saja. Dalam hal ini, guru BK berperan penting untuk mengatasi
masalah krisis seperti
bullying. Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Helmuth Y. Bunu yang membahas
tentang pelaksanaan konseling kriris untuk
menangani bullying yang dilakukan oleh guru BK di SMPN 8 Kota Palang Karaya (Bunu,
2020).
Dalam penelitiannya, Bunu (2020) menyebutkan bahwa terdapat perilaku
seperti kurang percaya diri, kehilangan jati diri, perasaan bersalah, frustasi, rendahnya
prestasi, dan kesuraman sebagai
dampak dari bullying yang dialami
oleh siswa. Untuk
itu, guru BK di SMPN 8 Kota Palang Karaya menerapkan konseling krisis sebagai salah satu
intervensi untuk mengatasi
dampak dari bullying
tersebut. Dalam melaksanakan konseling krisis ini terdapat beberapa
langkah yang harus dilakukan
yaitu: 1) Perencanaan; 2) Penentuan tema dan tujuan; 3) Menyusun program;
4) Identifikasi masalah; 5)
Membuat diagnosis; 6) Prognosis; dan
7) Tahap pengobatan sebagai layanan yang diberikan.
Disebutkan juga bahwa terdapat langkah
lain yang digunakan
dalam memberikan layanan
konseling krisis yaitu: 1) Mengamati
gejala umum siswa yang menjadi korban bullying; 2) Proses pengobatan yang sesuai dengan asesmen; 3) Memantau penguatan yang telah diberikan; 4)
Kegiatan evaluasi komitmen.
Langkah-langkah ini dapat digunakan
agar layanan konseling krisis dapat dilaksanakan secara optimal. Meskipun
terdapat beberapa macam langkah dalam melaksanakan konseling
krisis, tetapi tujuan
akhirnya tetap sama yaitu untuk membantu
siswa yang mengalami
bullying.
Selain melakukan layanan konseling krisis,
juga terdapat kegiatan
sosialisasi krisis yang diberikan kepada siswa sebagai tindak lanjut
atas layanan konseling yang dilakukan. Dimana,
dalam memberikan sosialisasi juga terdapat tahapan
yang harus diperhatikan agar tujuan sosialisasi dapat tercapai. Terdapat
empat tahapan dalam melakukan sosialisasi yaitu: 1) Tahap
awal; 2) Tahap Transisi; 3) Tahap
pemberian bantuan; dan 4) Tahap akhir. Bunu (2020) juga menyebutkan beberapa tindakan
bullying yang dilakukan oleh siswa diantaranya pembullyan secara fisik (push up/lari, dipukul, dijegal, ditampar, dilempar dengan barang, diludahi, dan
dibajak) dan pembullyan secara psikologis (difitnah/digosipkan, dihina, dipermalukan, dituduh, diancam,
dan diteriaki). Upaya yang dilakukan dalam mengatasi tindakan
tersebut yaitu dengan
menerapkan konseling krisis model ABC. Konseling krisis
model ABC ini dapat diterapkan dengan beberapa langkah
yaitu: 1) Model A, dimana guru BK membangun hubungan baik dengan
siswa; 2) Model B, dimana guru BK mengidentifikasi pemicu
masalah ; 3) Model C, dimana guru BK
menentukan solusi pemcahan
masalah.
Berdasarkan kajian diatas, disimpulkan bahwa penelitian yang dilakukan oleh Helmuth
Y. Bunu
membuktikan bahwa konseling krisis sudah diterapkan di lapangan sesuai dengan standar
tahapan-tahapan untuk mengatasi
kondisi krisis pada siswa yang menjadi korban bullying. Penerapan konseling krisis tersebut sangat bermanfaat bagi siswa, dimana siswa berhasil
melewati kondisi krisisnya sehingga
tidak menimbulkan trauma
yang mendalam.
2.
Pembahasan
a. Kondisi Krisis
Definisi
krisis yaitu kejadian langsung dan
tidak terduga yang dialami oleh individu yang dapat memberikan beban untuk mengatasinya (Duffey & Haberstroh, 2020). Menurut Wiger,
dkk (2003) krisis merupakan suatu kondisi
di mana individu mengalami hambatan dalam mencapai tujuan hidup.
Dapat disimpulkan bahwa kondisi
krisis merupakan suatu kondisi dimana
individu secara langsung dan tak
terduga dihadapkan pada masalah berat yang dapat menghambat tercapainya tujuan hidup.
Kondisi krisis ini dapat menimbulkan
individu memiliki perasaan
yang tidak aman
seperti merasa sedih, takut, bahkan merasa hancur.
Kondisi krisis juga dapat menghambat aktivitas
yang biasa dilakukan sehari-hari oleh individu.
Contoh dari kondisi krisis ini sendiri yaitu perceraian, bencana alam, kematian
orang yang dekat, pemerkosaan, pembullyan, perampokan, pemutusan hubungan kerja, tidak lulus ujian, diagnosis medis yang
mengancam, putus hubungan dengan orang yang dicintai, kebakaran, perampokan, dan sebagainya (Winkel & Hastuti,
2006). Adapun lebih jelasnya, Baldwin
(dalam Sandoval: 2002) memaparkan
bahwa terdapat enam klasifikasi krisis.
1)
Dispositional Crises, yaitu krisis yang berkaitan
dengan rasa percaya
diri, tinggi badan, berat badan, dan sebagainya. Krisis
ini dapat diatasi dengan memberikan informasi mengenai hal tersebut.
2)
Anticipated Life Transitions, yaitu krisis yang dapat terjadi
pada peralihan kehidupan
individu seperti awal masuk sekolah,
kehamilan, lahirnya saudara
baru, pindah kelas,
pindah sekolah, dan sebagainya. Krisis ini dapat diatasi atau dicegah dengan pemberian informasi terkait perbedaan yang akan
dialami pada masa peralihan.
3) Traumatic Stress, yaitu krisis yang berkaitan dengan
stress ekstrenal yang memicu emosi seperti adanya ancaman kematian,
bencana alam, penyakit parah,
perang, kekerasan, dan sebagainya.
4)
Maturational-Developmental Crises, yaitu krisis
yang berkaitan dengan kondisi antar pribadi,
urusan yang belum selesai dan usaha untuk mencapai
kematangan emosi.
5)
Crises Reflecting Psychopatology, yaitu krisis yang berkaitan dengan
psikopatologi atau penyakit mental. Dimana peran guru BK
yaitu mencegah terjadinya penyesuaian
yang buruk dengan menjaga
akademis siswa.
6)
Psychiatric Emergencies, yaitu krisis yang biasanya
sudah menghambat fungsi umum individu,
sehingga individu kurang memiliki tanggung jawab pribadi. Kondisi krisis
dapat diatasi dengan berbagai cara, sesuai dengan
kekuatan masing-masing individu.
b.
Trauma
Menurut
Substance Abuse and Mental Health Services Administration [SAMHSA] (2014) (dalam Duffey & Haberstroh, 2020) trauma merupakan
kondisi yang melibatkan respons emosional, mental, dan fisik terhadap pengalaman atau serangkaian kejadian
yang sangat negatif
di mana individu tersebut merasa
mengalami kerugian
psikologis, fisik, atau emosional yang serius. Sedangkan
Strauser, dkk (2006) (dalam Rahayu,
2017) memaparkan bahwa trauma yaitu kejadian-kejadian
dimana individu terlibat kejadian
yang memungkinkan dirinya terluka
sehingga muncul perasaan
putus asa. Dapat disimpulkan
bahwa trauma adalah keadaan individu
yang berkaitan dengan kejadian yang dapat mempengaruhi emosi, mental, dan fisik.
Pengalaman atau kejadian
yang menimbulkan trauma misalnya seperti
pelecehan, penyerangan seksual,
kekerasan, penelantaran, bencana
alam ataupun buatan,
kehilangan orang yang dicintai, terorisme, dan perang. Pengalaman atau kejadian trauma ini memang mirip dengan kondisi krisis. Namun perlu diketahui bahwa meskipun individu
mengalami kondisi krisis semacam itu (misalnya kekerasan, bencana, kehilangan orang yang dicintai, dsb), belum tentu
individu tersebut mengalami
trauma. Tetapi individu
yang mengalami trauma
sudah pasti mengalami
kondisi krisis. Dapat dikatakan bahwa trauma merupakan kondisi krisis yang berkepanjangan dan memiliki respon
yang seringkali berlebihan terhadap kondisi krisis.
Individu yang mengalami trauma
mungkin terus mengalami kilas balik, seperti mimpi buruk; masalah
fisik, emosional, spiritual, dan sosial; pola kecemasan akut, depresi,
dan stres pasca trauma; pola perilaku, tidur,
dan makan yang kurang baik (Duffey & Haberstroh, 2020).
c. Bullying
Dalam bahasa Indonesia, bullying memiliki
arti yaitu perundungan. Dalam KBBI sendiri perundungan merupakan perbuatan merundung dimana seseorang mengintimidasi individu
lain yang dianggap
lemah dan biasanya
juga memaksa untuk melakukan sesuatu yang diinginkan oleh pelaku.
Menurut Olweus (1999) (dalam Darmayanti, et.al., 2019) bullying
merupakan masalah psikososial yang dilakukan
oleh individu yang merasa memiliki
kekuatan dengan menghina
dan merendahkan individu
lain yang dianggap
lemah dan dilakukan secara berulang-ulang.
Dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan tindakan negatif yang dilakukan berulangkali dengan mengintimidasi dan merendahkan individu
lain yang dianggap
lemah. Apabila perilaku bullying tidak segera diberikan tindak lanjut,
maka akan memberikan dampak buruk pada korban bullying. Jika
dikaitkan pada
kondisi krisis, korban bullying akan mengalami kondisi krisis. Apabila
kondisi krisis ini tidak
mendapatkan atensi dari pihak lain, maka korban dapat mengalami stress,
depresi, kecemasan yang berlebihan, gangguan mental, bahkan trauma.
Berikut ini dampak yang
ditimbulkan dari perbuatan bullying yang dikemukakan oleh
Santoso (2018).
1)
Kesulitan dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan
lingkungan sekitaritas
2)
Tidak mau bersekolah karena merasa
takut sehingga sering membolos dan
tidak mengikuti mata pelajaran
4)
Mengalami kesulitan untuk fokus dan konsentrasi
5)
Mengalami gangguan pada fisik dan psikisnya
Kegiatan bullying tidak hanya terbatas
pada perilaku yang Nampak secara fisik saja, tetapi juga bisa dilakukan secara
non fisik yang berakibat
pada psikis korban. Santoso (2018) mengelompokkan kegiatan
bullying dalam 5 bagian, diantaranya:
1) Kontak verbal langsung,
misalnya mengejek, menghina, mengintimidasi, merendahkan, mengintimidasi, dan sarkasme.
2)
Perilaku nonverbal langsung, misalnya
menampilkan ekspresi yang mengejek, menjulurkan lidah, melihat dengan
pandangan sinis, yang biasanya
diikuti dengan melakukan kekerasan secara fisik ataupun verbal.
3)
Perilaku nonverbal tidak langsung,
misalnya dengan sengaja
menjauhi dan mendiamkan, memanipulasi, mengabaikan, atau mengucilkan.
4)
Pelecehan seksual, seperti melakukan
tindakan yang mengganggu fungsi reproduksi orang lain, melecehkan tubuh orang lain, dan sebagainya. Terkadang dapat dikategorikan dalam perilaku agresi fisik atau verbal.
5) Cyberbullying, yakni tindakan
bullying yang dilakukan di dunia maya melalui platform
digital seperti sosial media.
Kegiatan-kegiatan bullying tersebut tentunya banyak dialami oleh siswa yang masih anak-anak maupun remaja. Apalagi
dengan adanya kecanggihan teknologi - seperti gadget
- yang tidak digunakan
dengan semestinya dapat menjadi sarana tindakan pembullyan secara tidak langsung. Pelaku dapat membully korban di dunia maya seperti
sosial media dengan mengejek, mengancam, menghina, ataupun
mengintimidasi. Kegiatan seperti itu biasa
disebut dengan Cyberbullying yang
juga dapat berdampak pada
psikologis siswa.
Apabila kegiatan-kegiatan bullying tersebut tidak segera ditindak
lanjuti, maka tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan dampak traumatis yang berkepanjangan yang dapat mengganggu kehidupan korban bullying.
d. Konseling Krisis
Menurut Kusmaryani et al. (2012),
konseling krisis merupakan
proses bantuan yang dilakukan oleh seorang profesional terhadap individu yang mengalami keadaan
krisis sehingga berpengaruh
negatif terhadap kemampuan
individu untuk berfikir,
merencanakan, dan mengatasi masalah secara efektif. Menurut. Gladding
(2012) (dalam Fauziah
et al., 2017) konseling krisis merupakan penggunaan variasi pendekatan yang berfokus pada tindakan untuk
membantu individu menghadapi krisis secara eksternal. Jadi, konseling krisis merupakan sebuah pendekatan dalam memberikan bantuan
oleh seorang profesional terhadap individu yang mengalami
kondisi krisis dalam dirinya.
Menurut Muro dan Kottman (1995) (dalam Kusmaryani et al., 2012) konseling krisis
bertujuan untuk membantu
individu yang mengalami krisis agar dapat meningkatkan poteni atau kemampuannya sehingga memiliki pandangan yang positif dan dapat mengatasi permasalahannya. Menurut Gladding (2012) (dalam
Rahayu, 2017) tujuan konseling krisis yaitu
memberikan bantuan mendesak kepada orang-orang yang membutuhkan, termasuk
bantuan psikologis, keuangan, dan hukum.
Berbagai variasi
pendekatan dapat digunakan dalam pelaksanaan konseling
krisis dapat misalnya pendekatan realita, pendekatan perilaku
(behavioral), pendekatan SFBC, pendekatan person centered, pendekatan kognitif, dan sebagainya. Akan tetapi, perbedaan konseling krisis dengan konseling pada umumnya yaitu
konseling krisis dilakukan
dalam waktu singkat dan segera dilakukan saat itu (kondisi krisis)
(Fauziah et al., 2017).
Guru BK memiliki peran penting dalam keberhasilan konseling
krisis ini. Menurut
(Rahayu, 2017) guru BK yang menangani
masalah krisis ini harus memiliki kepribadian
yang matang dan sudah memiliki banyak pengalaman dalam menjalani kehidupan. Karena, guru BK harus bisa memiliki
kontrol emosi yang baik, tenang, dan juga
terarah dalam menghadapi individu yang berada dalam kondisi krisis.
Untuk itu, terdapat
beberapa keterampilan yang perlu BK kuasai
yaitu: 1) Membentuk hubungan
yang baik dengan konseli yang sedang dalam keadaan krisis;
2) Mengidentifikasi masalah
krisis dengan baik; 3) Cara menangani masalah
krisis tersebut (Kusmaryani et al., 2012).
Dalam melaksanakan layanan
konseling krisis, terdapat
beberapa tahapan yang perlu diperhatikan (Gladding dalam Amriana,
2014):
1)
Tahap Awal
Tahap awal pada
sesi konseling dilakukan saat konseli
pertama kali bertemu dengan konselor hingga konselor
dapat mengidentifikasi dan menemukan pokok permasalahan konseli.
Dalam tahap ini konselor
dapat membangun hubungan baik dengan konseli
agar konseli nyaman dan dapat menceritakan permasalahannya secara terbuka. Disini
konselor juga memberitahukan kepada konseli apa pokok permasalahan yang dialami oleh konseli
dengan jelas.
2)
Tahap Transisi
Setelah melakukan
tahap awal, selanjutnya konselor beralih pada tahap transisi. Dimana dalam tahap transisi ini konselor dapat
lebih mempererat hubungan
dengan konseli sehingga
konselor dapat menganalisis lebih dalam terkait
permasalahan yang dialami
oleh konseli. Selanjutnya konselor dapat merancang
intervensi yang sesuai dengan permasalahan konseli. Selain itu, konselor juga dapat membentuk
kontrak dengan konseli
baik kontrak waktu,
tugas, maupun kerjasama.
3) Tahap Kerja
Tahap ini merupakan tahap pokok dari sesi konseling. Dalam tahap ini digunakan
metode- metode pendekatan yang cocok untuk mengatasi permasalahan konseli. Misalnya tahapan
pendekatan konseling realitas
yang biasa disebut
WDEP ataupun tahapan
pendekatan CBT dengan model ABC. Jadi, pada tahap kerja ini disesuaikan dengan tahapan pendekatan yang akan dipakai dalam
konseling krisis.
4) Tahap Terminasi (Tahap Pengakhiran) Terdapat beberapa
hal yang perlu dilakukan konselor
dalam tahap akhir, diantaranya: a) menyusun kesimpulan hasil konseling bersama
konseli; b) menyusun pertemuan
dan rencana tindak lanjut dari konseling
yang sudah dilakukan ; c) melakukan evaluasi proses dan hasil konseling
; e) tahap ini diikuti
dengan menurunnya tingkat
kecemasan pada konseli
dan konseli mendapat
sudut pandang atau
pengetahuan baru dari permasalahan yang dimiliki.
KESIMPULAN
Kasus bullying tidak dapat dianggap
sebagai kasus sepele yang hanya terbatas pada candaan atau ejekan semata. Kasus bullying ini dapat menjadikan korban berada pada
kondisi krisis, dimana
jika kondisi krisis ini tidak segera
ditangani maka akan menimbulkan trauma pada korban.
Terdapat beberapa pengelompokan dalam tindakan bullying, yaitu bullying dengan kontak
verbal langsung, perilaku
nonverbal langsung, perilaku
nonverbal tidak langsung, pelecehan seksual,
dan cyberbullying. Tindakan bullying tentunya dapat menimbulkan dampak negatif pada korban. Seperti
yang disebutkan oleh Bunu (2020) bahwa bullying
dapat memberikan dampak seperti kurang percaya diri,
kehilangan jati diri, perasaan
bersalah, frustasi, rendahnya prestasi, dan kesuraman pada siswa korban
bullying.
Oleh karena itu, agar dampak yang ditimbulkan oleh bullying tidak semakin parah,
maka dibutuhkan penanganan khusus dan cepat
terhadap korban. Guru BK dapat mengupayakan untuk mengatasi masalah
bullying yang terjadi pada korban. Guru BK dapat memberikan layanan
konseling krisis sebagai upaya untuk membantu siswa dalam mengatasi
dampak dari bullying.
Terdapat berbagai variasi
pendekatan dapat digunakan dalam pelaksanaan konseling krisis dapat misalnya pendekatan realita, pendekatan perilaku
(behavioral), pendekatan SFBC, pendekatan person centered, pendekatan kognitif, dan sebagainya. Konseling krisis juga memiliki beberapa tahapan yaitu tahap
awal, tahap transisi, tahap kerja,
dan tahap terminasi. Dengan
demikian, Penerapan konseling krisis tersebut
sangat bermanfaat bagi siswa, dimana siswa berhasil
melewati kondisi krisisnya
sehingga tidak menimbulkan trauma yang mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Aulia, Syarifah N. 2022. Indonesia Peringkat Kelima Kasus Bullying pada Anak dan Remaja.
Diakses pada tanggal
12 Desember 2022.
https://chatnews.id/read/indonesia- peringkat-kelima-kasus-bullying-pada- anak-dan-remaja
Bunu, H. Y. (2020). Peran Konseling dalam Mereduksi Traumatik pada Siswa yang Mengalami Bullying.
Cendekia, 14(2), 93–109.
https://doi.org/10.30957/Cendekia.v14i2. 625.
Darmayanti, K. K. H., Kurniawati, F., & Situmorang, D. D. B. (2019). Bullying di Sekolah: Pengertian, Dampak, Pembagian dan Cara
Menanggulanginya. PEDAGOGIA, 17(1),
55-66.
Duffey, T., & Haberstroh, S. (2020). Introduction to Crisis and Trauma Counseling. American Counseling Association.
Fauziah, M., Dahlan,
U. A., & Pendahuluan, A. (2017).
Urgensi Konseling Krisis dalam Bimbingan dan Konseling. 320–325.
Kusmaryani, R. E., Fathiyah, K. N., & Sugiyanto. (2012).
Konseling Krisis Sebagai
Upaya Penanganan Masalah
Psikologis Remaja Di Yogyakarta. Prosiding Seminar
Nasional Dalam Rangka Dies Natalis
Ke-48 Universitas Negeri
Yogyakarta, 367–378.
Pemita, Desika. 2022. Bocah SD Dibully hingga
Koma, Polisi Tangkap
Pelaku yang Merupakan Kakak Kelas. Diakses
pada tanggal 12 Desember 2022.
https://chatnews.id/read/bocah-sd- dibully-hingga-koma-polisi-tangkap- pelaku-yang-merupakan-kakak-kelas
Putra, Wisma. 2022. Kasus Bully Siswa di SMP Bandung,
Polisis Periksa Sejumlah
Saksi. Diakses pada tanggal 12 Desember 2022. https://www.detik.com/jabar/berita/d- 6414773/kasus-bully-siswa-di-smp- bandung-polisi-periksa-sejumlah-saksi
Putri, M.E. (2017). Konseling Krisis Dengan Pendekatan Konseling Realitas
Untuk Menurunkan Kecemasan
Anak Korban
Kekerasan Seksual. Proceedings| International Conference, pp. 93-
99. https://www.gci.or.id/proceedings/vie w_article/168/3/ascc-2017
Rahayu, S. M. (2017).
Konseling Krisis: Sebuah Pendekatan dalam Mereduksi Masalah
Traumatik pada Anak dan Remaja.
Jurnal Pendidikan (Teori Dan Praktik), 2(1), 65.
https://doi.org/10.26740/jp.v2n1.p65-69 Sandoval, Jonathan.
2002. Handbook of Crisis
Counseling,
Intervention, and Prevention in The Schools. New Jersey: Lawrence Erlbaum
Associates.
Santoso, A. (2018). Pendidikan Anti Bullying.
Majalah Ilmiah “Pelita Ilmu,” 1(2), 49–
57.
http://jurnal.stiapembangunanjember.ac.i d/index.php/pelitailmu/article
Tanjung, Chaidir A. 2017. Kakek: Siswi di Riau Bunuh Diri karena Diejek ‘Anak Orang Gila’. Diakses pada tanggal 12 Desember
2022. https://news.detik.com/berita/d- 3581369/kakek-siswi-di-riau-bunuh-diri- karena-diejek-anak-orang-gila
Wiger, D. E., & Harowski,
K. J. (2003). Essentials of Crisis Counseling and Intervention. John Wiley & Sons
Inc.
Winkel, W. S. dan Sri Hastuti, M. M. (2006). Bimbingan Dan Konseling
Di Institusi Pendidikan. Yogyakarta: Media Abadi.
Zuleyka, A., Adinti, A., & Azahra, D. N. (2021). Konseling Krisis dengan Tahap Pendekatan Konseling Realitas untuk Menangani Traumatik Remaja Akibat Bullying. Prosiding Seminar Nasional “Bimbingan
Dan Konseling Islami,” 18–34. http://www.seminar.uad.ac.id/index.php/PSNB K/article/view/7790%0Ahttp://www.seminar.u ad.ac.id/index.php/PSNBK/article/viewFile/77 90/1615